Sabtu, 01 Februari 2014

Mushthalahul Hadits

Mushthalahul Hadits 
Hadits/sunnah Rasul adalah segenap perkataan, perbuatan, pernyataan, pengakuan, gerak-gerik isyarat, pendiaman /kediaman, sifat, keadaan, hasrat, dll, dari Nabi Muhammad SAW, yang sampai kepada kita melalui rawi rawi yang terpercaya dan dengan matan yang tidak bertentangan dengan Al qur’an .
Sumber Hukum Islam dan Hukum Islam, sub Hadits/As Sunnah, link
Mushthalahul Hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah untuk mengetahui keadaan seorang perawi dan yang diriwayatkannya dari segi diterima dan ditolaknya.
Objeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya.
Sanad adalah : suatu jalan yang menyampaikan kepada matan atau suatu perantara yang menyampaikan kepada rawi hadist.
Matan adalah : Suatu yang akan menyampaikan kepada sanad dari ucapan atau disebut juga redaksi hadist atau isi hadist.

Rawi hadits
Kata rawi atau arawi, berarti orang yang meriwayatkan atau yang memberitakan hadits. Yang dimaksud dengan rawi ialah orang yang merawikan/meriwayatkan, dan memindahkan hadits. Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatanya juga disebut para rawi. Begitu juga setiap perawi pada tiap-tiap thabaqoh-nya merupakan sanad bagi yabaqah berikutnya. Akan tetapi yang membedakan kedua istilah diatas ialah, jika dilihat dari dalam dua hal yaitu:
  • Pertama, dalam hal pembukuan hadits. Orang-orang yang menerima hadits kemudian mengumpulkanya dalam suatu kitab tadwin disebut dengan rawi. Dengan demikian perawi dapat disebutkan dengan mudawwin, kemudian orang-orang yang menerima hadits dan hanya meyampaikan kepada orang lain, tanpa membukukannya disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini dapat disebutkan bahwa setiap sanad adalah perawi pada setiap tabaqahnya, tetapi tidak setiap perawi disebut sanad hadits karena ada perawi yang langsung membukukannya.
  • Kedua dalam penyebutan silsilah hadits, untuk susunan sanad, berbeda dengan penyebutan silsilah susunan rawi. Pada silsilah sanad, yang disebut sanad pertama adalah orang yang langsung meyampaikan hadits tersebut kepada penerimanya. Sedangkan pada rawi yang disebut rawi pertama ialah para sahabat Rasul SAW. Dengan demikian penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya rawi pertama sanad terakhir dan sanad pertama adalah rawi terakhir.
Untuk lebih memperjelas uraian tentang sanad, matan dan rawi di atas yang lebih lanjut pada hadits di berikut ; Abubakar bin Abi Syaibah dan Abukarib telah menceritakan (hadits)kepada kami yang diterimanya dari al-A’masy dari umara bin umair. Dari Abd ar-rahman bin yazi, dari Abdullah bin mas’ud katanya :"Rasulullah SAW telah bersabda kepada kami : wahai sekalian pemuda barang siapa yang sudah mampu untuk melakukan pernikahan, maka menikahlah, karena dergan menikah itu( lebih dapat) menjaga kehormatan . Akan tetapi barang siapa yang belum mampu melakukamya, baginya hendaklah berpuasa. Karena dengan berpuasa itu dapat menahan hasrat seksual(H.R. al-Bukhari dan muslim). Disini dapat kita jelaskan bahwa: dari nama Abu Bakar bin abi syaibah sampai dengan Abdullah bin mas'ud merupakan silsilah atau rangkaian /susunan orang-orang yang meyampaikan hadits. Itu semua adalah sanad hadits tersebut, yang juga sebagai jalan matan. Dan mulai kata "wahai sekalian pemuda sampai dengan berpuasa dapat menahan hasrat seksual" adalah matan, materi atau lafaz hadits tersebut yang mengandung makna makna. Rawi pertama adalah Abubakar bin Abi Syaibah dan Abukarib, sedangkan sanad pertama adalah Abdullah bin mas'ud dan perawinya adalah al-Bukhari dan al-muslim.


Pembagian Hadits Berdasarkan Sandaran/Asal (Makna/Lafaldz)
Hadits ditinjau kepada yang disandarkan terbagi empat,yaitu :
  1. Hadits Qudsi
  2. Hadits marfu
  3. Hadits mauquf
  4. Hadits maqthu’

Hadits Qudsi
"Hadits yang diriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya (Allah Subhaanahu wa Ta’ala). Hadits Qudsi dinamakan juga Hadits Rabbani dan Hadits Ilaahi"
Kedudukan Hadits Qudsi diantara Al Qur’an dan Hadits Nabawi, tidaklah sama karena Al Qur’an disandarkan kepada Allah Ta’ala baik lafadz dan maknanya. Sedangkan Hadits Nabawi disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik lafadz dan ma’nanya dan Al Hadits Al Qudsi disandarkan kepada Allah Ta’ala secara ma’na tidak secara lafadznya dan karena itu tidak bernilai ibadah didalam membaca lafadznya dan tidak boleh dibaca didalam sholat, dan tidak dinukil secara mutawattir (keseluruhannya) sebagaimana penukilan Al Qur’an, akan tetapi sebagiannya ada yang shahih dan dhaif.

Hadits Marfu
"Hadits yang disandarkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam, terbagi menjadi dua yaitu : Marfu sharih dan Marfu hukum"
Marfu sharih ialah: Hadits yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung baik perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat atau khuluqnya penciptaannya (akhlaknya).
Contoh perkataan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang berbuat amalan yang tidak ada dasar perintahnya dari kami maka ia tertolak”.
Contoh perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa apabila masuk rumahnya ia mulai dengan bersiwak (gosok gigi)”.
Contoh penetapan (taqrir) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : Taqrir beliau terhadap jawaban seorang budak perempuan ketika beliau bertanya dimana Allah? dia menjawab: Di langit. Lalu Rasulallah mentaqrirkan terhadap yang demikian. Dan yang termasuk ini juga seluruh perkataan atau perbuatan sahabat yang Rasulallah ketahui tapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diam terhadapnya (tidak mengingkari) maka hukumnya marfu sharih dan termasuk taqrir.
Contoh sifat akhlaknya : Adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling dermawan diantara manusia dan yang paling berani diantara manusia. Apa-apa yang beliau diminta beliau tidak pernah katakan jangan/tidak boleh dan beliau selalu berseri-seri, lembut perawakannya luwes dalam perkara jika ada dua pilihan melainkan beliau memiliki yang paling mudah kecuali kalau dosa maka beliaulah orang yang paling menjauhinya dibandingyang lain.
Contoh sifat dirinya : Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang tidak tinggi dan tidak pendek (sedang) rambutnya sepundak, lebat menutupi dua telinganya, janggutnya rapih dan sedikit beruban.
Marfu hukum ialah: Sesuatu yang dihukumi marfu kepada nabi shallallahu ‘alaihi wassallam berupa perkataan shahabat apabila tidak bersumber dari pendapatnya (ra’yu) dan bukan tafsiran dan tidak dikenal sebagai orang yang mengambil cerita isra’iliyat.
Contoh perkatan shahabat seperti khabar tentang tanda-tanda kiamat atau keadaan hari kiamat atau hari pembalasan(ini namanya marfu’ hukum). Jika bersumber dari pendapatnya (ra’yu) maka dinamakan mauquf. Dan jika berbentuk tafsir maka hukumnya sama dan tafsirnya dinamakan tafsir mauquf. Dan jika orangnya terkenal dengan seorang yang mengambil cerita isra’iliyat maka hukumnya tarraddud (saling bertolak belakang) antara khabar isra’iliyat atau hadits marfu’, maka tidak boleh diyakini sebagai hadits karena masih diragukan. Seperti Abadalah (orang yang namanya berawalan Abdul) seperti Abdullah bin Umar bin Khattab dan Abdullah bin Amru bin Al Ash, mereka adalah orang yang mengambil cerita-cerita isra’iliyat dari Ka’ab dan lainnya.
Contoh perbuatan shahabat apabila tidak bersumber dari pendapatnya, seperti shalat khusuf yang dilakukan Ali dengan ruku’ melebihi dari dua dalam satu raka’at.
Sahabat menyandarkan sesuatu kepada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak disebutkan bahwasanya ia tahu hal itu seperti perkataan Asma’ binti Abu Bakar: “Kami pernah menyembelih seekor kuda pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah lalu kami memakannya”.
Shahabat berkata tentang sesuatu bahwasanya itu termasuk Sunnah seperti perkataan Ibnu mas’ud “Termasuk sunnah tasyahhud dipelankan, maksudnya dalam shalat” .


Jika tabi’in yang berkata maka bisa marfu’ bisa mauquf
Seperti perkataan Ubaidillah bin Abdullah bin Atabah bin Mas’ud. “Yang sunnah,Imam berkhutbah pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha dua kali yang ia selingi dengan duduk”.
Perkataan shahabat, seperti: “kami diperitahkan atau kami dilarang atau manusia diperintahkan atau yang semisalnya”
Seperti perkataan Ummu ‘Athiyah: “Kami diperintahkan agar kami mengajak keluar para perawan pada waktu shalat iedul fitri dan iedul adha”.Dan perkataannya:Kami dilarang (para wanita) mengiringi jenazah tetapi tidak dikeraskan larangannya terhadap kami.
Dan perkataan Ibnu Abbas: Manusia diperintahkan agar mengakhiri waktu haji mereka di ka’bah.
Dan perkatan Anas: Kami diberikan batas waktu mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan bulu kemaluan tidak lebih dari 40 malam.
Sahabat menghukumi terhadap sesuatu bahwasanya itu maksiat seperti perkataan Abu Hurairah tentang orang yang keluar masjid setelah adzan: “Adapun orang ini telah mendurhaki Abul Qosim ( Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)”.
Begitu pula kalau shahabat menghukumi terhadap sesuatu bahwasanya itu termasuk ketaatan atau mengatakan sesuatu itu bukan maksiat atau ketaatan karena yang demikian tidak mungkin dikatakan shahabat melainkan mereka mengetahui nashnya dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Perkataan mereka (shahabat) dari shahabat dengan dimarfukan haditsnya atau riwayatnya seperti perkataan Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Obat itu ada dalam tiga: Minum madu, jarum bekam dan besi panas (dibakar) dan umatku dilarang dengan besi panas”
Dan perkataan Sa’id bin al Musayyab dari Abu Hurairah : “Fitrah itu lima atau lima dari fitrah: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong rambut dan mencukur kumis”.
Dan begitu pula perkataan mereka dari shahabat dengan cara penyampaian hadits atau menerima hadits atau menyandarkan kepadanya dan yang sepertinya karena semua ibarat ini termasuk hukum marfu’ sharih walaupun tidak secara langsung dalam penyandaran kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi ada dugaan itu dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits Mauquf
"Hadits yang disandarkan kepada shahabat tetapi tidak ditetapkan baginya hukum marfu". Seperti perkatan Umar bin khatthab:Islam hancur karena tergelincirnya seorang yang alim, jidalnya orang munafik dengan Al-Quran dan hukum para imam-imam yang sesat.
Hadits Maqthu’
"Perkataan yang disandarkan kepada tabi’in dan orang yang setelahnya (tabiut tabiin)". Seperti perkataan Ibnu Sirin: Sesungguhnya ilmu ini (sanad) adalah agama, maka lihatlah darimana kamu mengambil dien (sanad) mu ini. Dan perkataan Malik: Tinggalkanlah amalan-amalan yang tidak nampak selama tidak baik untukmu agar engkau kerjakan secara nampak.


Pembagian Hadits Berdasarkan Gugurnya Sanad

Hadits Mursal
"Hadits yang sanadnya terbuang dari akhir sanadnya, sebelum tabi'in. Gambarannya, adalah apabila seorang tabi'in mengatakan, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ..." atau "Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ini dan itu ...".

Hadits Mu’dhal 
"Hadits yang sanadnya ada dua orang rawi atau lebih yang gugur secara berturut-turut. Sedangkan I'dhal sendiri adalah terputusnya rangkaian sanad hadits, dua orang atau lebih secara berurutan."

Hadits Munqati’
"Hadits yang di tengah sanadnya terdapat perawi yang gugur, satu orang atau lebih, secara tidak berurutan."

Hadits Mu’allaq 
"Hadits yang sanadnya terbuang dari awal sanadnya, satu orang rawi atau lebih secara berturut-turut, bahkan sekalipun terbuang semuanya. Gambarannya adalah : semua sanad dibuang kemudian dikatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda."


Pembagian Hadits Menurut Banyaknya Jalan Periwayatan


Hadits Menurut Banyaknya Jalan Periwayatan, dibagi empat: 
1. Hadis Mutawatir 
Hadits Ahad 
2. Hadits Masyhur 
3. Hadits Aziz 
4. Hadits Gharib

Hadis Mutawatir
"Hadits yang diriwayatkan oleh sekumpulan orang yang mustahil mereka sepakat berdusta menurut adat dan mereka menyandarkannya kepada sesuatu yang nyata."
"Hadis Mutawatir, yaitu hadis yang memiliki banyak sanad dan mustahil perawinya berdusta atas Nabi Muhammad saw, sebab hadis itu diriwayatkan oleh banyak orang dan disampaikan kepada banyak orang."
"Mutawatir menurut bahasa berarti ‎ yang berlanjut, ‎berurutan.‎ ‎ Artinya Sesuatu yang datang kemudian atau secara beriring-iring ‎antara yang satu dengan lainnya tanpa adanya jarak.‎"
Sedangkan Sohari Sahrani dalam bukunya “ulumul hadits” mengutip beberapa ‎definisi terminologi yang ‎terdapat beberapa formulasi definisi berbeda, antara lain sebagai berikut.‎ Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumah rawi yang ‎tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, mulai dari awal sanad sampai akhir ‎sanad dan cara penyandaran mereka adalah pancaindra.‎ Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat ‎istiadat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.‎
"Dalam kitab Al-Minhal al-Lathif fi Ushulil Hadits asy-Syarif, Muhammad ‘Alawy ‎ menjelaskan hadits mutawatir secara istilah, yaitu;‎ “Hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan ‎sanadnya, yang menurut akal dan kebiasaan mereka tidak dimungkinkan untuk ‎berdusta, dan dalam periwayatannya mereka bersandarkan pada panca indra”.
Hadis Mutawatir adalah Hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang pada semua tingkatan sanad (rentetan periwayat Hadis sampai kepada Rasulullah SAW), yang secara logika dan kebiasaan dapat dipastikan bahwa para periwayat itu mustahil bersepakat untuk berdusta [Lihat Muhammad 'Ajaj al-Khatib, "Usul al-Hadis:'ulumuh wa musthalahuh", h. 301]. Ulama usul al-fiqh menggunakan istilah mutawatir untuk "khabar yang disampaikan oleh banyak orang yang dengan sendirinya memberi suatu keyakinan/kepastian" [Muhammad Baqir al-Shadr, "Durus fi 'Ilm al-Usul", juz 1, h. 197].

Dari beberapa definisi yang ada, dapat dirumuskan beberapa syarat yang ‎harus ada dalam hadits mutawatir yaitu ada empat syarat:
  1. Periwayatannya didukung oleh jumlah yang banyak
  2. Menurut logika dan kebiasaannya, tidak dimungkinkan para perawi ‎bersekongkol untuk berdusta
  3. Terdapat Jumlah perawi yang banyak pada setiap tingkatan, dari awal ‎sanad sampai akhir sanad
  4. Sandaran dalam periwayatan mereka menggunakan panca indra dan ‎bukan akal.‎
Ulama hadits masih berbeda pendapat tentang jumlah perawi, ada yang ‎menetapkan dengan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Ulama ‎yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, mereka berpatokan pada adat istiadat ‎yang dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan para perawi ‎yang mustahil mereka sepakat berdusta. Sedangkan ulama yang mensyaratkan ‎adanya jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya.‎

Beberapa pendapat ulama tentang jumlah perawi yang harus ada adalah:
  1. Abu at-Thaiyyib, menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, diqiyaskan ‎dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi ‎vonis pada terdakwah.‎ ‎ Ini didasarkan pada QS. 24. An-Nur : 13.‎
  2. Ashab as-Syafi’i menentukan minimal 5 orang, diqiyaskan dengan ‎jumlah para Nabi yang mendapat gelar ulul azmi.‎ ‎ Juga ada yang ‎berdasarkan pada permasalahan li’an, QS. 24. An-Nur : 6-9.‎
  3. As-Suyuthy dan Astikhary menetapkan bahwa jumlah yang paling baik ‎adalah minimal 10 orang, sebab bilangan itu merupakan awal bilangan ‎banyak.‎ ‎ Pendapat inilah yang banyak diikuti oleh para muhaddisin.‎
  4. Ada pendapat lain yang mengatakan minimal 12 orang,‎ ‎ seperti jumlah ‎pemimpin yang dijelaskan dalam firman Allah QS. 5. Al-Maidah : 12.‎
  5. Ada sebagian ulama yang menetapkan 20 orang,‎ ‎ ini didasarkan pada ‎QS. 8. Al-Anfal : 65.‎
  6. Ada juga yang mengatakan minimal 40 orang,‎ ‎ ini didasarkan pada QS. ‎‎8. Al-Anfal : 64.‎
  7. Ada juga yang menetapkan jumlah minimal 70 orang,‎ ‎ ini didasarkan ‎atas firman Allah dalam al-Quran QS. 7. Al-A’raf : 155.‎
Konsekuensi logis dari perdebatan ini adalah adanya sebuah hadis yang dinilai mutawatir oleh sebagian ulama --sesuai kriteria yang mereka tetapkan-- namun boleh jadi dipandang tidak mutawatir oleh ulama lain, yang memliki kriteria yang berbeda dalam menentukan mutawatir atau tidaknya suatu riwayat. Contohnya adalah hadis mengenai rukun Iman dan rukun Islam yang terdapat dalam Shahih Muslim (Hadis nomor 9), juga diriwayatkan dalam Sunan al-Nasa'i, kitab al-Iman wa Syara`i'ih, HN: 4,904; Sunan Ibn Majah, kitab al-Muqaddimah, HN: 62; Musnad al-Imam Ahmad, kitab Baqi Musnad al-Muksirin, HN: 8,765. Hadis ini diriwayatkan oleh delapan sahabat. Tentu saja bagi yang berpendapat bahwa empat orang saja sudah memenuhi kriteria mutawatir, hadis ini dipandang mutawatir. Tetapi tidak demikian halnya dengan yang berpendapat 10, 20 atau bahkan harus 70 orang.

Hadits mutawatir terbagi dua (ada yang menyatakan dibagi tiga)
  1. Hadits mutawatir Lafdhi
  2. Hadits mutawatir Maknawi
  3. Hadis Mutawatir Amali
Hadits mutawatir lafdhi
Adalah hadits yang mutawatir secara lafadz dan ‎maknanya. Misalnya, hadits: ‎‏ “ ‎barang siapa yang sengaja berdusta dengan atas namaku, maka dia akan ‎mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”.‎ Hadits tersebut diriwayatkan lebih dari 70 sahabat, dan diantara mereka ‎termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.‎ ‎ Terkait hadits tersebut, ‎menurut Abu Bakar Al-Bazzar diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan ‎sebagian ulama mengatakan bahwa itu diriwayatkan oleh 62 orang sahabat, ‎dengan susunan redaksi dan makna yang sama.‎


Hadits mutawatir maknawi
Hadits yang mutawatir secara maknanya ‎dan tidak mutawatir secara lafalnya.‎ ‎ Artinya para periwayat hadits ‎berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaan, akan tetapi terdapat ‎kesatuan prinsip dalam maknanya. Misalnya, hadits-hadits yang menjelaskan ‎tentang mengangkat tangan dalam berdoa.‎ ‎“… sesungguhnya Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangannya ‎begitu tinggi pada waktu berdoa, kecuali pada waktu berdoa memohon ‎hujan, beliau mengangkat kedua tangannya sampai terlihat kedua ketiaknya ‎yang putih”‎ Dalam redaksi pemberitaan yang lain dengan makna yang sama, disebutkan: ‎ ‎“… dari sahabat Anas, dia berkata bahwa pernah melihat Rasulullah SAW ‎mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa sampai terlihat kedua ‎ketiaknya yang putih”‎ Walaupun kedua hadits di atas berbeda redaksinya dan bahkan beberapa ‎hadits serupa yang lainnya juga masih banyak, kesemuanya adalah hadits-‎hadits yang berbeda dalam redaksi, namun memiliki kadar kesamaan dalam ‎segi maknanya, yaitu menjelaskan keadaan Rasulullah mengangkat tangan ‎dalam berdoa, maka yang demikian adalah disebut hadits mutawatir maknawi


Hadis mutawatir amali
“Sesuatu yang dengan mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir diantara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintah untuk melakukannya atau serupa dengan itu.”
Contoh: Kita melihat dimana saja bahwa shalat dzuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebnyak 4 rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW. melakukannya atau memerintahkannya demikian

Hadits Ahad
Hadits Ahad ialah lawan dari hadits mutawatir. Yaitu hadits yang sanadnya tidak mencapai derajat mutawatir, yang dibagi menjadi tiga :
Hadits Masyhur
"Hadits yang memiliki jalan-jalan periwayatan yang terbatas, lebih dari dua jalan, dan tidak mencapai derajat mutawatir (kurang/sama dengan jumlah sanad yang telah muhaditsun tentukan sesuai dengan penjelasan sebelumnya tentang minimal sanad yang diperlukan untuk mencapai derajat mutawatir"
Hadits Aziz
"Hadits yang diriwayatkan hanya oleh dua orang perawi saja"
Hadits Gharib
"Hadits yang diriwayatkan sendirian oleh seorang rawi dalam salah satu periode rangkaian sanadnya"


Peringkat Kebenaran Rawi Hadits
Sahabat ialah orang yang bertemu rasulullah sahallahu'alaihi wa sallam dan ia seorang muslim sampai akhir hayatnya.
Tsiqah Tsiqah atau Tsiqah Hafidz ialah Rawi yang mempunyai kredibilitas yang tinggi, yang terkumpul pada dirinya sifat adil dan hafalannya sangat kuat.
Tsiqah/ Mutqin/`Adil = Rawi yang mempunyai sifat `adil dan kuat hafalannya.
Shaduq La ba`sa bihi = Rawi yang jujur terhadap apa yang diberitakan dan Rawitersebut tidak bermasalah (cacat dalam periwayatan).
Shaduq, buruk hapalannya = Rawi yang jujur terhadap apa yang diberitakan, tetapi ia memiliki hapalan yang buruk dan sering keliru dalam periwayatan.
Maqbul = Rawi yang diterima periwayatannya dan dapat dijadikan sebagai hujjah.
Majhul Al-Haal/Mastur = Rawi yang tidak diketahui jati dirinya.
Dha'if = Rawi yang lemah periwayatannya (lemah/cacat hapalannya, lemah ilmunya, lemah dalam agama).
ditolaknya
Majhul = Rawi yang hanya diriwayatkan oleh satu orang saja.
Matruk ialah Perawi/rawi yang dituduh berdusta, atau perawi yang banyak melakukan kekeliruan, sehingga periwayatanya bertentangan dengan periwayatan perawi yang tsiqah. Atau perawi yang sering meriwayatkan hadits-hadits yang tidak dikenal (gharib) dari perawi yang terkenal tsiqah.
Tertuduh berdusta = Orang yang teertuduh berdusta derajat haditsnya seperti hadits palsu, tetapi tidak dapat dipastikan bahwasanya hadits tersebut hadits palsu, karena kondisi dia yang tertuduh mengakibatkan mengakibatkan derajat haditsnya turun mendekati hadits palsu.
Kadzaab (pendusta) = Rawi yang pendusta, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.
Al jarhu wa ta’dil : Pernyataan adanya cela dan cacat, dan per-nyataan adanya "al-Adalah" dan "hafalan yang bagus" pada seorang rawi hadits.
At Ta’dil : Pernyataan adanya "al-Adalah" pada diri se-orang rawi hadits.
Al Jarhu : Celaan yang dialamatkan pada rawi hadits yang dapat mengganggu (atau bahkan meng-hilangkan) bobot predikat "al-Adalah" dan "hafalan yang bagus", dari dirinya.
Tsiqah : Kredibel, di mana pada diri seorang rawi ter-kumpul sifat al-Adalah dan adh-Dhabt (hafalan yang bagus).
Rawi La Ba`sa Bihi : Rawi yang masuk dalam kategori tsiqah.
Jayyid : Baik
Layyin : Lemah.
Majhul : Rawi yang tidak diriwayatkan darinya kecuali oleh seorang saja.
Mubham : Rawi yang tidak diketahui nama (identitas)nya.
Mudallis : Rawi yang melakukan tadlis.
Rawi Mastur : Sama dengan Majhul al-Hal (Rawi yang tidak diketahui jati dirinya).
Perawi Matruk : Perawi yang dituduh berdusta, atau perawi yang banyak melakukan kekeliruan, sehingga periwayatanya bertentangan dengan periwayatan perawi yang tsiqah. Atau perawi yang sering meriwayatkan hadits-hadits yang tidak dikenal (gharib) dari perawi yang terkenal tsiqah.
Rawi Mudhtharib : Rawi yang menyampaikan riwayat secara tidak akurat, di mana riwayat yang disam-paikannya kepada rawi-rawi di bawahnya berbeda antara yang satu dengan lainnya, yang menyebabkan tidak dapat ditarjih; riwayat siapa yang mahfuzh (terjaga).
Rawi Mukhtalith : Rawi yang akalnya terganggu, yang menyebabkan hafalannya menjadi campur aduk dan ucapannya menjadi tidak teratur.
Rawi yang tidak dijadikan sebagai hujjah : Rawi yang haditsnya diriwayatkan dan ditulis tapi haditsnya tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil dan hujjah.
Saqith : Tidak berharga karena terlalu lemah (parahnya illat yang ada di dalamnya).
Tadh'if : Pernyataan bahwa hadits atau rawi bersang-kutan dha'if (lemah).


Membedakan antara hadits-hadits yang shahih dengan hadits-hadits yang sakit (cacat)
Untuk membedakan hadits hadits yang makbul (shoheh/hasan) dengan hadits mardud (dhaif ) kita bisa melakukan penelitian tentang sandaran/asal (makna/lafaldz), berdasarkan gugurnya sanad, banyaknya jalan periwayatan. Secara sederhana; sandaran, sanad (termasuk tingkat kepercayaan para rawi) dan matan digunakan untuk menentukan derajat hadits, sedangkan banyaknya sanad memungkinkan suatu hadits naik peringkat (contoh dari hasan menjadi soheh hasan, atau dari dhaif menjadi hasan)
Secara lebih terperinci bisa kita masukkan kaidah kaidah sebagai berikut :
Kaidah-Kaidah Mayor Kritik Sanad dan Matan
Kaidah kritik sanad dan matan hadis dapat diketahui dari pengertian istilah hadis sahih. Menurut ulama hadis, misalnya Ibnu Al-Shalah(w.643H), hadis sahih ialah:
“hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan zabit sampai akhir sanad,(didalam hadis itu),tidak terdapat kejanggalan (Syuzuz dan cacat illat).”
 Dari pengertian istilah tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur hadis sahih menjadi:
  1. Sanad bersambung
  2. Periwayat bersifat adil
  3. Periwayat bersifat zabit
  4. Dalam hadis itu tidak terdapat kejanggalan
  5. Dalam hadis itu tidak terdapat cacat (illat)
Ketiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedangkan dua unsur berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan. Dengan demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum kaidah kesahihan hadis ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan dengan sanad dan dua macam berkaitan dengan matan. Persyaratan umum ini dapat diberi istilah sebagai kaidah mayor sebab masing-masing unsurnya memiliki syarat-syarat khusus dan yang berkaitan dengan syarat-syarat khusus itu dapat diberi istilah sebagai kaidah minor. Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad diatas sesungguhnya dapat didapatkan menjadi tiga unsur saja, yakni unsur terhindari dari syuzuz dan terhindar dari illat dimasukan pada unsur pertama dan ketiga. Pemadatan unsur-unsur itu tidak menggangu subsansi kaidah sebab hanya bersifat metodololgi untuk menghindari terjadinya tumpang tindih unsur-unsur, khususnya dalam kaidah minor.
Kaidah-Kaidah Minor dalam Kritik Sanad
Apabila masing-masing unsur kaidah mayor kesahihan sanad disertakan unsur-unsur kaidah minornya,maka dapat dikemukakan butir-butirnya sebagai berikut:
1. Unsur Kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a. Muttasil (bersambung);
b. Marfu’ (bersandar kepada Nabi SAW.);
c. Mahfuz (terhindar dari syuzuz);
d. Bukan muall (bercacat).
2. Unsur kaidah mayor kedua, periwayat bersifat adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a. Beragama Islam;
b. Mukalaf (balig dan berakal sehat);
c. Melaksanakan ketentuan agama Islam;
ditolaknya
d. Memelihara muruah (adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan dari manusia kepada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan).
3. Unsur kaidah mayor yang ketiga, periwayat zabit dan atau azbat, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a. Hafal dengan baik hadis yang diriwayatkannya;
b. Mampu dengan baik menyampaikan riwayatkan dengan hadis yang dihafalnya kepada orang lain;
c. Terhindar syuzuz;
d. Terhindar dari illat.
Dengan acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut, maka penelitian sanad hadis dilakukan secara benar dan cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi yang tertinggi.
Kaidah-Kaidah Minor dengan Kritik Matan
Kaidah mayor untuk matan, sebagaimana telah disebutkan ada dua macam, yakni terhindar dari syuzuz dan terhindar dari illat. Ulama hadis tampaknya mengalami kesulitan untuk mengemukakan klasifikasi unsur-unsur kaidah minornya secara rinci dan sistematik. Dinyatakan demikian, karena dalam kitab-kitab yang membahas penelitian hadis. Adapun tolok ukur penelitian matan (maayir naqd al matn) yang telah dikemukakan oleh ulama tidaklah seragam. Al-Khatib Al-Bagdadi (w.463 H = 1072 M) menjelaskan bahwa matan hadis yang maqbul (diterima sebagai hujjah), haruslah:
1. Tidak bertentangan dengan akal yang sehat;
2. Tidak bertentangan dengan hukum Al-Quran yang telah muhkam;
3. Tidak bertentangan dengan hadis mutawattir;
4. Tidak bertentangan dengan amalan yang terjadi menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf);
5. Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti;
6. Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang berkualitas kesahihannya lebih kuat.
Keenam butir tolak ukur tersebut tampak masih tumpang tindih. Selain itu, masih ada tolak ukur penting yang tidak disebutkan,misalnya tentang susunan bahasa dan fakta sejarah. Shalah Al-Din Al-Adlabi mengemukakan bahwa pokok-pokok tolok ukur penelitian kesahihan matan ada empat macam. Yaitu:
1. Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Quran;
2. Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat;
3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah;
4. Susunan pertanyaan nya menunjukan ciri-ciri sabda kenabian.
Tolak ukur tersebut masih bersifat global dan masih dimungkinkan untuk dikembangkan. Butir-butir tolak ukur diatas, yang dapat dinyatakan sebagai kaidah kesahihan matan, oleh jumhur ulama dinyatakan sebagai tolak ukur untuk meneliti kepalsuan suatu hadis. 
Menurut jumhur ulama, tanda-tanda matan hadits yang palsu adalah:
1. Susunan bahasanya rancu;
2. Isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterprasikan secara rasional;
3. Isinya bertentangan dengan tujuan pokok agama Islam;
4. Isinya bertentangan hukum dan sunnatullah;
5. Isinya bertentangan dengan sejarah pasti;
6. Isinya bertentangan dengan petunjuk Al-Quran ataupun hadis mutawatir yang menganduk suatu petunjuk secara pasti;
7. Isinya berada di luar kewajaran dari ajaran Islam.
Walaupun butir-butir tolak ukur penelitian matan tersebut tampak menyeluruh, tetapi tingkat akurasinya di tentukan juga oleh ketetapan metodologis dalam penerapannya.


Hadits Makbul dan Hadits Mardud

Hadits Makbul
"Hadits makbul adalah sebuah hadits yang mempunyai indikasi kuat kejujuran orang yang membawa khabar tesebut, diterima/dijadikan landasan/dalil/pijakan."
Secara garis besar hadits maqbul terbagi menjadi dua, yaitu shahih dan hasan, dan masing-masing kelompok ini terbagi lagi menjadi dua kelompok hadits, yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi serta hasan lidzatihi dan hasan lighairihi. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Hadits Shahih
Hadits Shahih : “Hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan memiliki hafalan yang kuat dari rawi yang semisalnya sampai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula memiliki illat”.
Sanadnya bersambung adalah: bahwa setiap perawi mengambil hadits secara langsung dari perawi yang berada diatasnya, kondisi seperti ini dari permulaan sanad sampai akhirnya.
Perawi yang adil adalah : bahwa semua perawinya mempuyai sifat ‘al ‘adalah,’ tidak fasik dan tidak mempunyai karakter yang tidak beretika.
Al ‘adalah adalah: Potensi (baik) yang dapat membawa pemilik-nya kepada takwa, dan (menyebabkannya mampu) menghindari hal-hal tercela dan se-gala hal yang dapat merusak nama baik dalam pandangan orang banyak. Predikat ini dapat diraih seseorang dengan syarat-syarat: Islam, baligh, berakal sehat, takwa, dan meninggalkan hal-hal yang merusak nama baik.
Memiliki hafalan yang kuat adalah; bahwa setiap perawi mempunyai hafalan yang kuat, baik hafalan yang ada di dalam dada maupun hafalan yang menggunakan bantuan buku.
Tidak syadz artinya : bahwasanya hadits tersebut tidak syadz (nyeleneh/menyelisihi yang lebih kuat).
Tidak memiliki ‘illat artinya : hadits tersebut tidak cacat. Dan ‘Illat adalah Sebab yang samar yang terdapat di dalam hadits yang dapat merusak keshahihannya.
Hadits Shahih dapat dibagi dua yaitu : Shahih Lidzatihi : hadits yang shahih berdasarkan persyaratan shahih yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal dan Shahih Lighairihi : hadits yang hakikatnya adalah hasan, dan karena didukung oleh hadits hasan yang lain, maka dia menjadi Shahih Lighairihi.
Hadits Hasan
"Hadits Hasan : Hadits yang sanadnya bersambung, yang diri-wayatkan oleh rawi yang adil dan memiliki hafalan yang sedang-sedang saja (khafif adh-Dhabt) dari rawi yang semisalnya sampai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula me-miliki illat."
Hadits Hasan dapat dibagi dua yaitu : Hasan Lidzatihi : hadits yang hasan berdasarkan persyaratan hasan yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal dan Hasan Lighairihi : hadits yang hakikatnya adalah dla’if, dan karena didukung oleh hadits dla’if yang lain, maka dia menjadi hasan Lighairihi.
Hadits Mardud
"Hadits Mardud / yang tertolak adalah hadits yang tidak jelas kejujuran orang yang membawa khabar tersebut. Itu bisa terjadi karena ketiadaan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat sebuah hadits."
Sebab-sebab tertolaknya hadits itu ada banyak, tetapi secara garis besar bisa di klasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1. Gugur dari sanad
2. Terindikasi cacat atau tertuduh pada seorang perawi.
Secara keumumam semua itu disebut dengan hadits dla’if.
"Hadits Dha'if : Hadits yang tidak memenuhi syarat hadits maqbul (yang diterima dan dapat dijadikan hujjah), dengan hilangnya salah satu syarat-syaratnya."
source
Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist; http://media.isnet.org/isnet/Nadirsyah/ijma.html; http://ms.wikipedia.org/wiki/Hadis_Mutawatir; http://mustwildan.blogspot.com/2013/01/pengertian-hadits-mutawatir.html; http://infoserabutan.blogspot.com/p/pembahasan-hadis-mutawatir.html; Al Qur’an, Sumber sumber lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar