Jumat, 31 Januari 2014

Sumber Hukum Islam dan Hukum Islam

Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas aktivitas yang bernuansa hukum. Selama kita melakukan suatu aktivitas, kita berarti melakukan tindakan hukum. Permasalahannya adalah, tidak banyak orang yang menyadari bahwa dirinya telah melakukan aktivitas hukum. Agar kita menyadari dan memahami bahwa kita telah melakukan aktivitas hukum, maka kita harus memahami apa dan bagaimana sebenarnya hukum itu.
Setiap Muslim seharusnya (atau bisa dikatakan wajib) memahami hukum dan permasalahannya, khususnya hukum Islam. Aktivitas seorang Muslim sehari-hari tidak bisa lepas dari permasalahan hukum Islam, baik ketika dia melakukan ibadah kepada Allah atau ketika dia melakukan hubungan sosial (muamalah) di tengah tengah masyarakat. Permasalahan yang muncul sama seperti di atas, yakni tidak sedikit kaum Muslim yang belum memahami hukum Islam, bahkan sarna sekali tidak memahaminya, sehingga aktivitasnya banyak yang belum sesuai atau bertentangan atau bahkan tidak dalam ketentuan hukum Islam.

Dalam sejarah awal perkembangan Islam, ajaran keesaan Tuhan (tauhid) merupakan tugas pokok pertama Nabi saw yang harus disampaikan dan didakwahkan kepada umatnya. Tauhid menempati struktur hierarkis paling istimewa dalam keseluruhan sistem serta bangunan keber-agama-an kaum Muslim. Keabsahan semua rangkaian prosesi keagamaan sangat bergantung pada eksistensi tauhidnya.

Di samping mempengaruhi keabsahan ritual keagamaan, tauhid juga berfungsi mengendalikan gerak, tindakan dan dinamika kemanusiaan. Secara sosiologis, konsep tauhid ikut mengarahkan, membentuk dan menentukan kualitas perilaku individu maupun komunitas umat Islam. Semakin tinggi kualitas tauhidnya, semakin tinggi pula tingkat perilaku keimanan sosialnya. Refleki dari ketinggian kualitas tauhid ini dengan sangat baik dicontohkan oleh para pahlawan (mujahid) Muslim yang berperang demi menegakkan kalimat ilahi dan menyebarkan dakwah keislaman. Orang dengan kualitas tauhid yang mumpuni tidak mengenal rasa takut, menjadi pemberani dan rela berkorban segalanya demi meraih cita-cita tegaknya kalimat Allah, termasuk mengorbankan nyawanya sendiri.

Dengan demikian, pandangan dunia (world view) tauhid sangat mempengaruhi pola pikir, pola bertindak, gaya dan cara memandang realitas, strategi aksi serta bentuk relasi sosial antar manusia. Dalam konteks ini, tauhid sangat mirip/sama dengan ideologi; sebut saja ideologi ketuhanan atau ideologi kehidupan (way of life) yang memberi arahan ideal bagi terwujudnya tatanan sosial yang dikehendaki. Tentunya ideologi dalam pengertian sebagai sebuah kumpulan ide, konsep dan gagasan yang menjadi referensi praktis untuk menggapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Tauhid dalam formulasi semacam ini berkembang pada masa-masa awal kelahiran Islam.

Berdasarkan analisis sejarah para pakar, doktrin tauhid yang dikembangkan Nabi Muhammad saw berwatak dinamis, progresif dan liberatif. Ketika itu, tauhid dipahami sebagai ajaran yang menyeru umat manusia untuk hanya menyembah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa; menghambakan diri kepada-Nya; menyerahkan totalitas eksistensial kemanusiaan kepada-Nya dan mengesakan-Nya dari segala bentuk penyembahan, ketundukkan, kepatuhan, ketaatan dan penghambaan diri kepada selain-Nya. Tauhid demikian berkarakter subversif: menantang mainstream status quo dan memberontak terhadap segala struktur kuasa maupun sosial yang hegemonik, tiranik dan sewenang-wenang. Doktrin tauhid benar-benar revolusioner dan transformatif.

Pengertian doktrin tauhid ini memiliki kesamaan arti / selaras dengan pengertian al-syari’ah al-Islamiyyah (arti hukum islam dalam khazanah literatur Islam (Arab)) yang didefinisikan sebagai apa yang di-syariat-kan oleh Allah kepada hamba-Nya baik berupa akidah (tauhid), ibadah, akhlak, muamalah, maupun aturan-aturan hidup manusia dalam berbagai aspek kehidupannya untuk mengatur hubungan umat manusia dengan Tuhan mereka dan mengatur hubungan mereka dengan sesama mereka serta untuk mewujudkan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Sering kali kata syariah disambungkan dengan Allah sehingga menjadi syariah Allah (syari’atullah) yang berarti jalan kebenaran yang lurus yang menjaga manusia dari penyimpangan dan penyelewengan, dan menjauhkan manusia dari jalan yang mengarah pada keburukan dan ajakan-ajakan hawa nafsu (Manna’ al-Qaththan, 2001: 14). Kata syariah secara khusus digunakan untuk menyebut apa yang disyariatkan oleh Allah yang disampaikan oleh para Rasul-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Karena itulah, Allah disebut al-Syari’ yang pertama dan hukum-hukum Allah disebut hukum syara’

Dari uraian di atas jelaslah bahwa istilah syariah pada mulanya identik dengan istilah din atau agama. Dalam hal ini syariah didefinisikan sebagai semua peraturan agama yang ditetapkan oleh al-Quran maupun Sunnah Rasul. Karena itu, syariah mencakup ajaran-ajaran pokok agama (ushul ad-dien), yakni ajaran-ajaran yang berkaitan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya, akhirat, dan yang berkaitan dengan pembahasan-pembahasan ilmu tauhid. Syariah mencakup pula etika, yaitu cara seseorang mendidik dirinya sendiri dan keluarganya, dasar-dasar hubungan kemasyarakatan, dan cita-cita tertinggi yang harus diusahakan untuk dicapai atau didekati serta jalan untuk mencapai cita-cita atau tujuan hidup itu. Di samping itu, syariah juga mencakup hukum-hukum Allah bagi tiap-tiap perbuatan manusia, yakni halal, haram, makruh, sunnah, dan mubah. Kajian tentang yang terakhir ini sekarang disebut fikih (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 131).

Namun, seiring perkembangan sejarah dan peradaban kemanusiaan, pada abad kedua hijriah (abad ke-9 Masehi), ketika formulasi teologi Islam dikristalkan untuk pertama kali dan kata syariah mulai dipakai dalam pengertian yang sistematis, syariah dibatasi pemakaiannya untuk menyebut hukum (peraturan-peraturan hukum) saja, sedang teologi dikeluarkan dari cakupannya. Jadi, syariah menjadi konsep integratif tertinggi dalam Islam bagi mutakallimin (para teolog Muslim) dan fuqaha’ (para ahli hukum Islam) yang kemudian.

Dengan demikian, syariah lebih khusus dari agama, atau dengan kata lain agama mempunyai cakupan yang lebih luas dari syariah, bahkan bisa dikatakan bahwa syariah merupakan bagian kecil dari agama, demikian pula halnya dengan fikih yang semula tidak dipisahkan dengan ilmu kalam (teologi) hingga masa al-Ma’mun (meninggal 218 H.) dari Bani Abbasiah. Hingga abad II H. fikih mencakup masalah masalah teologis maupun masalah-masalah hukum. Sedangkan sekarang lebih identik dengan hukum-hukum Allah bagi tiap-tiap perbuatan manusia, yakni halal, haram, makruh, sunnah, dan mubah.

Sebenarnya pembagian secara sistematis ini tidak bisa kita lepaskan dari latar belakang tatanan sosio-politik kemasyarakatan yang berdiri kokoh pada saat tersebut sehingga sistematisasi ini merupakan suatu karunia dan rahmat di dalam menyelami keimanan dan keislaman umat pada zamannya (RS 2014), ...........................



Sumber Hukum Islam
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafal Mashâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam literatur hukum Islam klasik maupun ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, periode klasik menggunakan istilah al-adillah al-Syar'iyyah, sedangkan yang dikehendaki dengan mashâdir al-Ahkâm yang digunakan oleh ulama kontemporer sekarang ini juga sesuai dengan istilah al-Adillah al Syar’iyyah[1]. Kemudian, yang dimaksud dengan Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syariat yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menentukan sebuah hukum[2].
1. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana 1. Ilmu), 1999, hal 82.
2. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 401.

Kata sumber dalam bahasa arabnya mashdar dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum [3] Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa sumber atau mashdar adalah suatu tempat yang dari segala sesuatu ini digali atau diambil.
3 Amir syarifuddin. ushul fiqh 1, •• Ed.1, -cet 4. Jakarta. PT kencana, 2008 h 43.

Apa itu sumber hukum Islam?
Sumber dari segi bahasa dapat diartikan tempat mengambil atau asal pengambilan (Basiq Djalil, 2010: 142)
(darimana-nilai-kebenaran-berasalbag-1-link) (darimana-nilai-kebenaran-berasalbag-2 - link)
,(RS 2014). Hukum secara bahasa adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain (Basiq Djalil, 2010: 34), sedangkan Islam itu sendiri adalah nama agama. Maka bila di rangkai secara bahasa diperoleh pengertian sumber hukum Islam adalah asal pengambilan dalam menetapkan sesuatu/peristiwa sesuai dengan ketentuan dalam agama Islam. Secara opersional dapat dipahami bahwa sumber hukum Islam adalah dasar/landasan penetapan sesuatu dalam Islam.

Sedangkan menurut istilah syara’ hukum adalah: ”Firman Allah Ta’ala yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf , yang mengandung tuntutan atau membolehkan memilih atau adanya (suatu hukum) karena adanya yang lain”. (Basiq Djalil, 2010: 34).

Dengan demikian sumber hukum Islam dapat dipahami sebagai penetapan Allah SWT
(darimana-nilai-kebenaran-berasalbag-1-link) (darimana-nilai-kebenaran-berasalbag-2 - link)
((darimana-nilai-kebenaran-berasalbag-1-link) (darimana-nilai-kebenaran-berasalbag-2 - link),(RS 2014).), tentang suatu perbuatan/kejadian/peristiwa yang dibebankan kepada orang mukallaf . Jadi kalau orang mukallaf melakukan suatu pekerjaan atau ada suatu peristiwa berhubungan dengan orang mukallaf , maka akan ada hukumnya. Kalau sumbernya hukum Islam berarti hukum tersebut diambil dari Islam, yaitu bersumber (diambil/berdasarkan) kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Dalam kenyataannya ada sedikit perbedaan diantara ulama dalam menetapkan sumber hukum islam, diantaranya akan dipaparkan secara sepintas, namun pada intinya tidak ada perbedaan didalam peletakkan Al Qur’an dan Sunah Rasul (terkodifikasi dalam kitab hadits dan tarikh Muhammad Rasulullah s.a.w.)

Ada dua sumber hukum yang disepakati ulama Sunni; Alquran dan Sunnah (Hadis nabi). Sedangkan menurut Syi'ah ada empat sumber untuk dijadikan landasan dalam penentuan sebuah hukum; Alquran, Sunnah, Ijmak, dan qiyas.

Menurut Abdul Majid Al-Khafawi (Satria Efendi, 2008: 78) sumber hukum islam ada 4, yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, ijma’ dan qiyas. Hal tersebut berdasarkan kepada firman Alah dalam surat Al-Nisa ayat 59, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (surat Al-Nisa ayat 59)

Menurut Abdul Wahhab Khalaf (2003: 14) yang dimaksud dengan mentaati Allah dan rasul-Nya adalah mengikuti Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Perintah mentaati ulil amri (pemimpin) di antara umat Islam adalah mengikuti hukum yang telah disepakati oleh para mujtahid, karena merekalah pemimpin umat dalam penetapan hukum-hukum Syara’ . Sedangkan perintah mengembalikan masalah yang diperselisihkan kepada Allah dan rasul-Nya ialah perintah mengikuti qiyas (selama masalah itu tidak terdapat nash atau kesepakatan di antara mujtahid). Karena qiyas adalah menyesuaikan kejadian yang hukumnya memiliki nash dengan kejadian yang hukumnya tidak memiliki nash dilihat dari kesamaan alasan atau sebab antara dua kejadian tersebut.

Di dalam hadits shahih yang disepakati keshahihannya (tafsir Ibnu Katsir surat An-Nisa ayat 59), yang diriwayatkan dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah bersabda: (Bukhari 6604 Lidwa)

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ يُونُسَ عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي

Telah menceritakan kepada kami Abdan telah mengabarkan kepada kami Abdullah dari Yunus dari Al Karmani telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman, ia mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang mentaatiku berarti ia mentaati Allah, sebaliknya barangsiapa membangkang terhadapku, ia membangkang Allah, dan barangsiapa mentaatiku amirku berarti ia mentaatiku, dan barangsiapa membangkang amirku, berarti ia membangkang terhadapku."

lni semua adalah perintah untuk mentaati para ulama dan umara. Untuk itu Allah berfirman, "Taatlah kepada Allah", yaitu ikutilah KitabNya. ''Dan taatlah kepada Rasul", yaitu peganglah Sunnahnya. "Dan Ulil Amri di antara kamu, "yaitu pada apa yang mereka perintahkan kepada kalian dalam rangka taat kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. Karena, tidak berlaku ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Allah.Firman Allah ,"Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya)". Mujahid dan banyak ulama Salaf berkata: "Artinya, kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Hal ini merupakan perintah dari Allah , bahwa setiap sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia, baik tentang ushuluddin (pokok-pokok agama) maupun furu'furu'nya (cabang-cabangnya), wajib dikembalikan kepada al-Kitab dan as-Sunnah, sebagaimana firman Allah "Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya-(terserah) kepada Allah". (QS. Asy-Syuraa: 10).

Maka, apa saja yang ditetapkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah, serta disaksikan kebenarannya (oleh al-Kitab dan as-Sunnah), maka itulah kebenaran. Dan tidak ada lagi dibalik kebenaran kecuali kesesatan. Untuk itu Allah berfirman, , jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir". Artinya, kembalikanlah oleh kalian berbagai pertengkaran dan ketidaktahuan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, lalu berhukumlah kalian kepada keduanya tentang berbagai hal yang kalian perselisihkan, "Jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. " Hal ini menunjukkan bahwa orang yang tidak berhukum kepada al-Kitab dan as-Sunnah dalam berbagai pertikaian, serta tidak merujuk pada keduanya, maka bukanlah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Sedangkan firmanNya, "Hal itu lebib baik". Yaitu berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta merujuk pada keduanya dalam memutuskan perselisihan adalah lebih baik. "Dan sebaik-baik takwil". Yaitu, sebaik baik akibat dan tempat kembali, sebagaimana yang dikatakan oleh as-Suddi dan lain-lain. Dan Mujarud berkata: "Yaltu, sebaik-baik balasan." Dan makna itu sangat dekat pada ketepatan."

Namun ada juga yang berpendapat bahwa sumber hukum Islam itu hanya dua saja, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah saja hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa secara bahasa sumber itu berbeda dengan cara/metode. Sebagai ilustrasinya, jika di depan kita ada sekeranjang jeruk. Maka bila kita berpikir asal jeruk itu dari mana?, tentu kita menjawab berasal dari pohon jeruk. Adapun bagaimana proses mendatangkan jeruk?. Ini berarti caranya bagaimana. Bisa saja dengan cara dipetik langsung atau dengan menggoyang-goyangkan pohonnya dan seterusnya. Dalam gambaran di atas kita bisa membedakan antara sumber dan cara. Begitu juga dalam hukum Islam. Ijtihad, ijma’, qiyas dan yang lainnya adalah cara/metode bukan sumber. (Basiq Djalil, 2010: 142).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa Ijtihad itu cara/metode menggali hukum, begitu juga dengan ijma’ dan qiyas. Dari hasil ijtihad tersebut lahirlah Fiqh (pemahaman pemahaman ulama), baik yang diformalkan atau telah diundangkan ataupun yang belum, juga dapat berupa putusan-putusan pengadilan agama masa lalu yang diberlakukan (yurisprudensi). Jadi bila sumber hukum Islam itu dapat dibagi menjadi lima, yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah, Fiqh, Qanun dan yurisprudensi. Sumber hukum Islam yang disepakati bisa disederhanakan lagi menjadi tiga, yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan hasil ijtihad. Atau bisa juga menjadi dua, yaitu wahyu dan akal. (Basiq Djalil, 2010: 142).

Ketegasan Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, ijma’ dan qiyas menjadi sumber hukum Islam dijelaskan pula dalam berbagai hadis. Salah satunya yang masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baghawi. Hadis tersebut selain dijadikan landasan para Ulama dalam menyepakati keempatnya menjadi sumber hukum Islam, juga menjadi dalil urutan sumber hukum Islam itu sendiri. Hal itu sebagaimana sabda Nabi Saw., yaitu: Dari bin Jabal, bahwasanya Rasulullah Saw. Ketika memerintahkannya ke Yaman bersabda:”Bagamaimana cara kamu memberi putusan hukum ketika meghadapi masalah? “Mu’adz berkata:“Saya akan memutuskan dengan Kitab Allah (Al-Qur’an). “Nabi bertanya:”jika kamu tidak menemukan dalam Kitab Allah?”Jawab Mu’adz:”maka dengan sunnah Rasulullah.” Nabi bertanya:”jika kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasulullah?”Mu’adz menjawab:”Saya akan berijtihad dengan pendapat saya, dan saya tidak akan mempersempit ijtihadku”. Rawi Hadis berkata: “Maka Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan bersabda:”Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepata utusan Rasulullah terhadap sesuatu yang diridhai oleh Rasulullah. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 15). Pada Hadis di atas secara tegas dapat dipahami bahwa Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah merupakan sumber pokok hukum Islam. Selanjutnya sebagai pelengkap adalah hasil ijtihad.

Dari uraian diatas menurut hemat kami bahwa sumber dasar hukum islam itu secara urutan superioritas adalah Al Qu’an , Sunah Rasul baru kemudian putusan Ulil Amri yang berupa Ijtihad dengan menggunakan metode/merujuk kepada Ijma’, Qiyas, Istidlal (yang terdiri dari Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Urf(adat), Sududz Dzariah, Qaul al-Shahabi, Dilalatul-Iqtiran, Dilalah al-Ilham). Dan menurut yang disepakati secara umum, terutama oleh empat Imam Mazhab, ada empat; yaitu : Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Imam Hanafi menambahkan Istihsan, sedangkan Imam Malik memasukkan Maslahah Mursalah. Hukum islam yang dimaksud disini adalah hukum islam bimakna syariat yang mempunyai arti luas yang mencakup akidah (teologi Islam), prinsip-prinsip moral (etika dan karakter Islam, akhlak), dan peraturan-peraturan hukum (fikih Islam) / sama dengan pengertian Ad dien.
Note
  • Metode disini adalah cara penentuan hukum maupun pertimbangan pertimbangan yang menyertainya, namun tidak merupakan sumber dan dasar hukum, tetapi setelah ditetapkan oleh yang berwenang menjadi produk hukum yang bersifat mengikat.
  • Istidlal adalah mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta. Dalam proses pencariannya, al-Qur’an menjadi rujukan yang pertama, as-Sunnah menjadi yang kedua, Ijma’ menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya. Istidlal ini bisa berbentuk Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Urf(adat), Sududz Dzariah, Qaul al-Shahabi, Dilalatul-Iqtiran


Al Qur’an
Di dalam kitab suci ini terkandung perintah dan larangan Allah yang bersfat mengikat setiap orang (yang mengaku) Muslim, serta tidak dapat diganggu gugat. Tapi juga di dalamnya berisi petunjuk yang dapat diterapkan secara luwes (fleksibel) serta perlu penjelasan dan tepat pada kondisi bagaimanapun, kepada siapapun, dan untuk zaman kapanpun.

Menurut bahasa kata Al-qur’an adalah bentuk masdar dari kata “qara’a” yang artinya “membaca”. Sedangkan menurut istilah : “ Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Yang termaktub dalam mushaf-mushaf (lembaran-lembaran yang diberi jilid) yang disalin dengan jalan mutawatir yang membacanya bernilai ibadah.”. .Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas.

Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukumyang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya .Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.

Sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (QS Saba' 34:28), “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. (QS. Al-maidah 5:15-16) , “Wahai ahli kitab! Sumgguh, rosul kami telah datang kepadamu, menjelaskan kepadamu banyak hal dari isi kitab yang kamu sembunyakan, dan banyak pula yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menjelaskan. Dengan kitab itulah Allah memberikan petunjuk kepada orang yang mengikuti keridaan-Nya kejalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gulita kepada cahaya dengan Izin-Nya, dan menunjukan kejalan yang lurus.”

Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia dan sumber pertama atau Asas Pertama Syara' dan harus dilaksanakan secara keseluruhan tanpa ada yang disembunyikan maupun diingkari keberadaannya.


Hadits/As-Sunnah
Dalam terminologi islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi muhammad. Namun pada saat ini kata hadits mengalami perluasan makna, sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata lain yang juga di pakai dengan pengertian demikian ialah”sunah”.Arti sunah menurut bahasa ialah jalan,tabiat,kebiasaan,yaitu jalan yang ditempuh atau kebiassan yang di pakai dan di perintahkan oleh NabiMuhammad s.a.w.

Secara umum ulama tidak membedakan antara pengertian hadis dengan sunah.Kedua-duanya mengandung pengertian”ucapan atau perbuatan atau taqrir (persetujuan) NabiMuhammad Saw” Walaupun demikian dikalangan ulama ada juga yang memberikan perbedaan antara hadis dan sunah.

Hadis diartikan sebagai keterangan-keterangan dari Rasulullah Saw.yang sampai kepada kita.Sedangakan sunah diartikan pada pernyataan yang berlaku pada masa Rasulullah atau telah menjadi tradisi dalam masyarakat islam pada masa itu, dan menjadi pedoman dalam melakukan ibadah dan muamalah.

Dari pengertian diatas dapat kami simpulkan bahwa hadits/sunnah Rasul adalah segenap perkataan, perbuatan, pernyataan, pengakuan, gerak-gerik isyarat, pendiaman /kediaman, sifat, keadaan, hasrat, dll, dari Nabi Muhammad SAW, yang sampai kepada kita melalui rawi rawi yang terpercaya dan dengan matan yang tidak bertentangan dengan Al qur’an (derajat soheh/hasan dan bersifat marfu’). Tentang Mushthalahul Hadits Insya Allah akan kami bahas dalam postingan selanjutnya.
Mushthalahul Hadits, Link

Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Dengan demikian maka Hadits atau sunah Rasulullah s.a.w. adalah sumber hukum islam yang kedua setelah Al Qur’an.


IJTIHAD
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukaN, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam / ulil amri (sesuai syarat syarat yang telah dientukan).. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukumyang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog Nabi Muhammad s.a.w. dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi s.a.w., bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukum dengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah s.a.w. menepuk-nepukkan bahu Muadz bin Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menjadikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.

Berpegang kepada hasil ijtihad diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT: Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59) Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yangmempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijtihad ulama dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam.

Ijtihad dari segi obyek kajiannya, menurut syatibhi, dibagi menjadi dua yaitu :
Ijtihad Istinbathi Adalah ijtihad yang dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung didalamnya. Dan hasil dari ijtihad tersebut kemudian dijadikan sebuah tolak ukur untuk setiap permasalahan yang dihadapi
Ijtihad tathbiqi. Jika ijtihad istimbathi dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat, maka ijtihad tathbiqi dilakukan dengan permasalahan kemudian hukum produk dari ijtihad istinbathi akan diterapkan.

Macam – macam ijtihad dilihat dari metodenya (metode disini adalah cara penentuan hukum maupun pertimbangan pertimbangan yang menyertainya, namun tidak merupakan sumber dan dasar hukum, tetapi setelah ditetapkan oleh yang berwenang menjadi produk hukum yang bersifat mengikat.). Secara umum dan disepakati oleh 4 Imam mazdab hanya ada 2 yaitu Ijma’dan Qiyas selainnya masih ada perdebatan.


Ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya tekad (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 54), dapat juga berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan atau kesepakatan tentang suatu masalah (Satria Efendi, 2008: 125). Ulama Ilmu Ushul Fiqh, ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa tentang hukum Syara’ mengenai suatu kejadian setelah wafatnya Rasulullah Saw. Apabila ada suatu peristiwa yang pada saatnya terjadi diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka bersepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan itu disebut ijma’.(Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 54). Senada dengan pengertian di atas, Basiq Djalil (2010: 152) menyebutkan pengertian ijma’, yaitu: “Kesepakatan atau persetujuan mujtahid umat Muhammad Saw., setelah wafatnya pada suatu masa dari beberapa masa terhadap suatu perkara (masalah) dari beberapa perkara”.(Basiq Djalil, 2010: 152). Dari pendapat di atas jelas bahwa ijma’ merupakan kesepakatan para Ulama dalam memutuskan suatu perkara atau beberapa perkara untuk ditentukan hukum dari perkara tersebut dalam masa waktu tertentu. Kesepakatan tersebut terjadi setelahnya Rasulullah wafat. (Parameternya tetap Al-Qur’an dan As-Sunnah). (seperti penetapan 1 Ramadhan misalnya).

Ijma’ terbagi 2 (dua), yaitu ijma’ sharih / kawli dan ijma’ sukuti.
Ijma’ sharih adalah kesepakatan Ulama dengan penyampaian persetujuan secara jelas terhadap hukum suatu peristiwa/kejadian dengan memberikan pendapat masing-masing secara tegas tentang hukum sesuatu tersebut. Sedangkan ijma’ sukuti adalah kesepakatan Ulama dengan penyampaian persetujuan sebagiannya secara jelas dan sebagian Ulama lainnya memberikan persetujuan tidak secara jelas terhadap hukum suatu peristiwa/kejadian tersebut. Secara tidak jelas memberikan persetujuan seperti diamnya (tidak berpendapatnya) para Ulama terhadap suatu keputusan hukum yang tengah dibahas/disepakati. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 62). Untuk ijma’ sharih secara umum para Ulama telah menyepakatinya menjadi sumber hukum Islam. Sedangkan untuk ijma’ sukuti berbeda-beda. Menurut madzhab Syafi’iyah dan sebagian kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan hukum karena diamnya sebagian ulama tersebut belum tentu merupakan terhadap hukum yang diputuskan. Tetapi menurut Hanafian dan Hanabilah bahwa ijma’ sukuti dapat dijadikan landasan hukum dengan alasan bahwa tidak mungkin sebagaian ulama tersebut hanya diam bila hal yang diputuskan tersebut bertentangan dengan pendapatnya. Jadi diamnya itu dapat diartikan setuju. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 63-64 dan Satria Effendi, 2008: 129).


Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan di antara keduanya. (Satria Effendi, 2008: 130). Sedangkan menurut Ahli Ushul Fiqh, qiyas adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum, sebab sama dalam ‘illat hukumnya. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 65). Lebih lanjut Abdul Wahhab Khalaf menjelaskan bahwa apabila ada nash yang menunjukan hukum pada suatu peristiwa dan dapat diketahui ‘illat hukumnya dengan cara-cara yang digunakan untuk mengetahui ‘illat hukum, kemudian terjadi peristiwa lain yang sama ‘illat hukumnya, maka hukum kedua masalah itu disamakan sebab memiliki kesamaan dalam hal ‘illat hukum. Karena hukum dapat ditemukan ketika ‘illat hukum itu sudah ditemukan (2003: 65). Basiq Djalil (2010: 154) menjelaskan lebih lanjut pengertian qiyas, yaitu: “Mengeluarkan (suatu hukum yang sama) dengan yang telah disebut, terhadap sesuatu yang belum disebut karena persamaan di antara keduanya”.( Basiq Djalil, 2010: 154).

Atau secara sederhana bisa disebutkan sebagai berikut : Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.

Beberapa definisi qiyâs (analogi)
  1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
  2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
  3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

Sedangkan kekuatan qiyas sebagai hujjah, pernah ditegaskan oleh Khalifah Umar bin Khatab dalam pesannya kepada Abu Musa Al-Asy’ariy, beliau pernah berkata: “...kemudian pahamilah terhadap apa yang aku sampaikan kepadamu dalam menghadapi permasalahan yang tidak memiliki nash Al-Qur’an dan sunnah, lalu carilah perbandingan masalah-masalah itu. Pahamilah beberapa metode menetapkan hukum kemudian yakinlah bahwa pendapatmu lebih dicintai Allah dan lebih mendekati kebenaran”. Begitu juga Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Kebenaran dapat diketahui dengan membandingkan suatu masalah dengan masalah lain, menurut orang-orang yang berakal”. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 73-74). Dengan demikian jelaslah bahwa kehujjahan qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam kedudukannya kuat. Hal tersebut didukung oleh dalil-dalil sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.

Secara operasional qiyas mempunyai rukun. Para Ulama menjelaskan bahwa qiyas dianggap sah jika rukunnya lengkap. Rukun (unsur) qiyas, yaitu: al-ashal , al-far’u, al-hukm al-ashal iy, al-‘illah. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003:77). Lebih lanjut dijelaskan unsur qiyas tersebut, yaitu:
1. Al-Ashal , yaitu kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash. Disebut juga al maqiys ‘alaih, al-mahmul ‘alaih dan al-musabah bih (yang digunakan sebagai ukuran, pembanding atau yang dipakai untuk menyamakan).( Dasar (dalil))
2. Al-far’u, yaitu kejadian yang hukumnya tidak disebutkan dalam nash dan kejadian tersebut disamakan hukumnya dengan al-ashal . Disebut juga al-maqiys, al-mahmul dan al-musabah (yang diukuran, dibandingkan atau disamakan).( Masalah yang akan diqiyaskan)
3. Al-hukm al-ashliy, yaitu hukum Syara’ yang dibawa oleh nash dalam masalah ashal . Tujuannya adalah menjadi hukum dasar bagi masalah baru. (Hukum yang terdapat pada dalil)
4. Al- ‘illah (‘illat ), yaitu alasan yang dijadikan dasar hukum ashal , yang berdasarkan adanya illah itu pada masalah baru, maka masalah baru itu disamakan hukumnya dengan hukum masalah ashal. (Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan)

Supaya lebih jelas lagi mari kita beberapa contoh qiyas, di antaranya sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (Soenarjo, dkk., 2006: 163). Ayat di atas menjelaskan tentang haramnya meminum khamr. Muncul masalah baru, yaitu: bagaimana hukumnya dengan perasan anggung atau kurma?. Ternyata perasan anggur atau kurma itu memabukan, sehingga hukumnya menjadi haram sama dengan khamr. Secara rinci contoh di atas dalam unsur qiyas adalah sebagi berikut:
- Masalah al-ashal adalah minum khamr yang hukumnya haram, sebagaimana ditunjukan dengan larangan untuk menjauhinya.
- Masalah al-far’u adalah perasan anggur atau kurma yang memabukan.
- Al-hukm al-ashliy, yaitu hukum haramnya meminum khamr, sebagaiimana firman Allah SWT. di atas.
- Memabukkan menjadi al-‘illah (‘illat ) diharamkannya minuman khamr, sehingga semua minuman yang memabukan hukumnya dapat disamakan dengan dengan khamr, yaitu hukumnya haram. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 66).

Walaupun sebenarnya masalah tentang khamr ini telah jelas disebutkan dalam beberapa hadis, di antaranya sabda Nabi Saw. di bawah ini: “Setiap minuman yang memabukan itu haram”. (HR. Bukhari dan Muslim dikutip oleh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 2005: 1061). “Setiap minuman yang memabukan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram”. (HR. Bukhari dan Muslim dikutip oleh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 2005: 1062)

Wahhab Al-Zuhaili (Satria Effendi, 2008: 140-142) membagi qiyas menjadi beberapa bagian, yaitu:
Qiyas Jalli
Qiyas jalli yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Qiyas ini berasal dari qiyas awla dan qiyas musawi. Qiyas awla adalah qiyas yang ‘illat pada far’u lebih utama dibandingkan dengan ‘illat pada ashal . Contoh seperti haramnya memukul orang tua merupakan qiyas dari haramnya mengatakaan “ah” kepada orang tua. Hal ini sebagaimana dalam potongan firman Allah SWT. dalam surat Al Isra ayat 23, yaitu: Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (Soenarjo, dkk., 2006: 387). ’Illat dari haramnya memukul orang tua dan haramnya mengatakaan “ah” sama-sama dikarenakan menyakiti orang tua. Namur tindakan memukul (far’u) lebih menyakiti orang tua dibandingkan dengan mengatakan “ah” (ashal ), sehingga hukuman untuk memukul orang tua lebih berat dibandingkan dengan hukuman mengatakan “ah” kepada orang tua. (Satria Effendi, 2008: 140).
Qiyas Musawi
Qiyas musawi adalah qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u bobotnya sama dengan bobot yang ada pada ashal . Seperti ‘illat hukum haramnya membakar harta anak yatim (far’u) sama bobotnya dengan memakan harta anak yatim (ashal ), yaitu sama-sama melenyapkan harta anak yatim. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah SWT. dalam surat Al-Nisa ayat 10, yaitu: ”Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.(Soenarjo, dkk., 2006:101). Selain dua qiyas di atas, dilihat dari perbandingan ‘illat juga dikenal istilah qiyas adna, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u bobotnya lebih rendah dibandingkan dengan ‘illat pada ashal . Hal ini sebagaimana contoh sifat memabukan pada perasan anggur lebih rendah dari sifat memabukan pada minuman khamr. Tetapi sifat memabukkan sebagai ‘illat sehingga keduanya menjadi haram, namun kadar memabukkannya yang berbeda. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 90 sebagaimana yang telah disebutkan di atas. (Satria Effendi, 2008: 141). Sedangkan qiyas khafi adalah qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang di-istinbat-kan (ditarik) dari hukum ashal . Misalnya meng-qiyas kan pembunuhan dengan memakai benda tumpul kepada pembunuhan dengan benda tajam disebabkan adanya persamaan ‘illat yaitu adanya kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan benda tajam. (Satria Effendi, 2008: 142).


Istihsan
Ada beberapa pengertian Istihsan, sbb:
Istihsan itu adalah berpindah dari suatu hukum yang sudah diberikan, kepada hukum lain yang sebandingnya karena ada suatu sebab yang dipandang lebih kuat.
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut istilah ulama’ ushul fiqh ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju ( menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil syara’ yang terakhir disebut sandaran istihsan.
Sedangkan secara terminologi Imam Al-Bazdawi, ahli ushul fiqh, istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat. Menurutnya, dalam kasus-kasus tertentu metode qiyas sulit untuk diterapkan, karena illat yang ada pada qiyas amat lemah. Oleh karena itu, perlu dicarikan metode lain yang mengandung motivasi hukum yang lebih kuat, sehingga hukum yang diterapkan dalam kasus tersebut lebih tepat dan sejalan dengan tujuan-tujuan syara’.
Iman Malik sebagaimana dinuklilkan Imam Syatibi, ahli ushul fiqh Maliki, mendefinisikan istihsan dengan memberlakukan kemaslahatan juz’i ketika berhadapan dengan kaidah umum. Kemudian ia menambahkan hakikat istihsan adalah mendahulukan maslahah al-mursalah dari pada qiyas. Artinya, apabila terjadi perbenturan antara qiyas dengan maslahah al-mursalah, maka yang diambil adalah maslaha al-mursalah, dan qiyas ditinggalkan, karena apabila qiyas tetap digunakan dalam kasus seperti ini, maka tujuan syara’ dalam mensyariatkan hukum tidak tercapai.
Secara harfiah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu yang menganggapnya kebaikan. Ahli ushul fiqh Hanafi bernama Imam Al-Sarakhsi, mengatakan ‘istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia’.

Secara istilah, ulama beragam dalam mendefinisikannya sekalipun esensinya hampir memiliki kesamaan. Berikut ini beberapa definisi Istihsan lainnya:
1. Ungkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri (karena)ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/ ibarah yang dapat membantu mengungkapankannya. (Abu Zahroh)
2. Meninggalkan / mengalihkan hasil qiyas menuju/ mengambil qiyas yang lebih kuat darinya. (Jasim Muhalhil)
3. Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/ menyeluruh. (Al Fairuz Abadi)
4. Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa karen adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama. (Al Jayzani)
5. Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafaznya karena pertimbangan yang lebih kuat darinya. (Al Qorofi)
6. Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengkecualian, rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya bertentangan. (Ibnul Arobi)
7. Pendapat yang tidak bersandarkan kepada keterangan dari salah satu syarak, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas. (Imam Syafii).

Analogi Istihsan tidak terikat pada keketatan analogi qias karena dimungkinkan adanya qias alternatif (qias kahfi) yang terlepas dari elemen 'illah (dalam analogi qias biasa), atas pertimbangan sesuatu alasan yang lebih kuat. Alasan itulah menjadikan qias jali (biasa) dialihkan kepada qias khafi (alternatif) dan hasilnya disebut Istihsan. Termasuk pula dalam kategori Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari suatu ketentuan pokok yang bersifat umum, atau dari suatu kaidah hukum, karena pengecualian itu didukung oleh suatu nash, atau ijma', atau 'urf atau dharurah, atau mashlahah. Dengan kata lain pertimbangan adanya ketentuan lain atau kesepakatan, atau kebiasaan, atau keadaan darurat atau suatu kepentingan nyata, semua itu merupakan elemen-elemen dalam hukum Istihsan.


Istishab
Kata Istishab berasal dari kata suhbah artinya ' menemani ' atau ' menyertai'. atau al-mushahabah : menemani , juga istimrar al-suhbah ; terus menemani. Menurut Istilah ilmu Ushul Qiqih yang dikemukakan Abdul Hamid Hakim: Istishab yaitu menetapkan hukum yang telah ada pada sejak semula tetap berlaku sampai sekarang karena tidak ada dalil yang merubah. Imam al-Syaukani memberi definisi, Yaitu menetapkan ( hukum) sesuatu sepanjang tidak ada yang merubahnya.
Istishab adalah menetapkan hukum yang ada pada waktu yang lalu dan menetapkan pula berlakunya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dengan kata lain, istishab adalah menjadikan hukum satu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada sumber hukum yang mengubah ketentuan hukum itu.
Macam Istishab
  1. Istishab Al-Bara'ah al-Ashliyah Terhadap istishab ini Ibnu Qayyim menyebutnya Bara'ah al-'Adam al-Asliyah. Istishab ini adalah terlepas dari tanggung jawab atau terlepas dari suatu hukum, sehingga ada dalil yang menunjukan.
  2. Istishab yang ditunjukan oleh al-syar'u atau al-Aqlu Yaitu sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkannya hukum yang berbeda dengan hukum itu.
  3. Istishab al-Hukmi / Dalil umum Yaitu sesuatu yang telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram, maka hukum itu terus berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang asalnya haram. Dengan kata lain sampai adanya dalil yang mengkhususkan atau yang membatalkannya
  4. Istishab Washfi Seperti keadaan hidupnya seseorang dinisbahkan kepada orang yang hilang. Contoh: Apabila seseorang dalam keadaan hidup meninggalkan kampung halamannya, maka orang ini oleh semua madzhab dianggap tetap hidup sampai ada bukti-bukti yang menunjukan bahwa ia telah meninggal dunia, oleh karena itu pemilikannya dipandang tetap, misalnya hak memiliki warist.
  5. Istishab hukum yang ditetapkan ijma lalu terjadi perselisihan Istishab seperti ini diperselisihkan ulama tentang kehujahannya


Maslahah mursalah/Istislah
Kata tersusun dari dua kata yaitu al-mashlahah dan al-Mursalah. Kata al-Mashlahah dari kata = beres. Bentuk mashdarnya atau = keberesan, kemaslahatan. Yaitu sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Kata mursalah , dari kata = mengutus. Bentuk isim maf'ulnya = diutus, dikirim, dipakai, dipergunakan. Perpaduan dari dua kata menjadi mashlahah mursalah, berarti prinsip kemaslahatan, kebaikan yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik atau bermanfaat. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih, bermakna : Maslahah Mursalah adalah sesuatu yang mengandung kemaslahatan, dirasakan oleh hukum, sesuai dengan akal dan tidak terdapat pada asal. Ia adalah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Allah swt. kepada hambanya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan hartanya.

Muslahah Mursalah adalah suatu kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung-singgung syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya. Jika dikerjakan akan membawa manfa’at atau menghindari keburukan. Dalam praktiknya, maslahah mursalah tidak banyak berbeda dengan istihsan. Perbedaannya, istihsan adalah mengecualikan sesuatu hukum dari peraturan umum yang ditetapkan qiyas. Sedangkan maslahah mursalah tidak ada penyimpangan dari qiyas.

Istishlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam yang menjadikan mashlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu hukum sekunder. Istishlah merupakan istilah lain yang digunakan oleh para ulama bagi mashlahah mursalah, selain daripadanya adalah al Munâsib al Mursal dan adapula istidlal al mursal serta mashlahah muthlaqah. Ketiga istilah itu bermuara pada satu permasalahan yaitu mashlahah. Karenanya juga konsep ini lebih dikenal dengan sebutan, al-mashlahah al-mursalah atau al-mashalih al-mursalah.
Macam-macam Mashlahah Dilihat dari sumbernya
  • Kemashlahatan yang ditegaskan oleh Alqur’an dan Al-Sunnah, yang disebut juga dengan mashlahah mu’tabarah, kemashlahatan ini diakui oleh para ulama, misalnya hifdulmal, hifdun nafsi, hifdu nasal, hifdul aqli dll.
  • Kemashlahatan yang bertentangan dengan nash yang qath’i. Kebanyakan ulama menolak kemaslahatan yang bertentangan dengan nash yang qath’i ini.
  • Kemaslahatan yang tidal dinyatakan oleh syara dan tidak ada dalil yang menolaknya. Maka inilah yang dimaksud dengan mashlahah mursalah.

Macam-macam Mashlahah Dilihat dari kepentingannya
  • Mashlahah Dharuriyah, yaitu kemashlahatan yang apabila ditinggalkan akan menimnulkan memadharatan dan kerusakan, karena itu mashlahah ini mesti ada terwujud. Ini kembali kepada yang lima; memelihara agama, jiwa,akal, keturunan dan harta.
  • Maslahah Hajiyah, yaitu semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar ( mashlahah dharuriyah), yang dibutuhkan juga oleh masyarakat tetap terwujud, dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan. Misalnya; dalam ibadah boleh qashar shalat, buka shaum bagi yang safar. Dalam adat, berburu, makan, pakai yang indah-indah. Dalam muamalah, boleh jual beli salam. Dalam uqubah/ jinayat boleh menolak hudud karena subhat.
  • Mashlahah Tahsiniyah, yaitu mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan tercakup pada bagian mahasinul akhlak. Misalmya dalam hal ibadah menutupi aurat, menjaga najis, makai pakaian yang bain waktu akan shalat. Dalam adat, menjaga adat makan dan minum. Dalam muamalah, tidak memberikan sesuatu melebihi batas kemampuan. Dalam uqubah, tidak berbuat curang dalam timbangan, tidak membunuh anak-anak, wanita dalam peperangan.


Syar’u Man Qoblana
Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita (Syar’u Man Qoblana) ialah hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad SAW

Syar’u man qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt, yang disyariatkan kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad saw. Bagi umat islam, mengikuti hukum-hukum tersebut merupakan suatu kewajiban selama tidak ada dalil-dalil yang menghapuskannya. Secara etimologis, syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah swt, bagi umat-umat sebelum kita.

Dalam hal ini maka ada hal yang disepakati ulama :
  1. Hukum-hukum syara yang ditetapkan bagi umat sebelum kita, tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum Islam, karena dikalangan umat Islam nilai sesuatu hukum didasarkan kepada sumber-sumber hukum Islam.
  2. Segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syariat Islam, otomatis hukum tersebut tidak bisa berlaku lagi bagi kita. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi umat tertentu, tidak berlaku bagi umat Islam, seperti keharaman beberapa makanan, misalnya daging bagi Bani Israil.
  3. Segala yang ditetapkan dengan nash yang dihargai oleh Islam seperti juga ditetapkan oleh agama samawi yang telah lalu, tetap berlaku bagi umat Islam, karena ketetapan nash Islam itu tadi bukan karena ditetapkannya bagi umat yang telah lalu.


Al ‘Urf
Urf dalam beberapa definisi diartikan sama dengan pengertian adat, tetapi ada juga yang membedakan makna antara urf dan adat, sebagai berikut : Secara etimologi ‘Urf’ berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima akal sehat. Menurut kebanyakan ulama ‘ Urf’ dinamakan juga ‘ Adat ‘, sebab perkara yang telah dikenal itu berulang kali dilakukan manusia. Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan,ucapan,perbuatan,atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Di kalangan masyarakat, ‘urf sering disebut adat. Dr. AbdulWahab Khalaf dalam bukunya menyebutkan ‘urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat. Urf adalah kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan. Urf adalah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh tabiat yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash syara
Para ulama ushul Fiqih membedakan antara ‘ Adat ‘ dengan ‘ Urf ‘ dalam kedudukannya sebagai dalil untuk menetapkan hukum syara. Adat didefinisikan dengan” Adat adalah sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”
Dengan demikian ‘Urf’ bukanlah kebiasaan alami sebagaimana berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari pemikiran dan pengalaman. Yang dibahas ulama ushul fiqih dalam kaitannya dengan dalil dalam menetapkan hukum syara adalah ‘Urf’ budan ‘Adat’.

Macam-macam ‘Urf’
1. Dari sisi obyeknya
a. Al-Urf al-Lafdhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafadh atau ungkapan tertentu.
b. Al-Urf al-Amali, adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan.
2. Dari sisi cakupannya
a. Al-Urf al-‘Aam yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah.
b. Urf al-Khash, yaitu kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
3. Dari sisi keabsahannya dalam pandangan syara’
a. Al-Urf al-Shahih adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan dalil syara’, tiada menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, juga tidak membatalkan yang wajib.
b. Al-Urf al-Fasid, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang, berlawanan dengan ketentuan syari’at, karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.


Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
Sadduz-Zara’i identik dengan wasilah (perantara). Sadduz-Zara’i dapat diterjemahkan juga dengan “menghambat” atau “menyumbat sesuatu yang menjadi perantara”.
Para ahli ushul fiqih mengemukakan bahwa sadduz-Zara’i adalah mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan, baik untuk menolak kerusakan itu sendiri maupun menyumbat jalan sarana yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan. Tujuan utama dari sadduz-zara’i adalah untuk kemaslahatan umat.
Jika dilihat dari jalan yang menyampaikan kepada tujuan, maka terbagi kepada dua, ada jalan yang menyampaikan kepada yang dilarang, dan ini harus dicegah atau disumbat supaya yang dilarang tidak terjadi, disebut Sanddu Dzariah Dan ada jalan yang menyampaikan kepada yang diperintah, ini harus dibuka supaya yang diperintah dapat mudah dilakukan, ini disebut fathhu dzariah
Menebang dahan pohon yang meliuk di atas jalan umum, dapat mengakibatkan timbulnya gangguan lalu lintas (contoh sanddu dzariah), mencari dana untuk membuat mesjid, agar mesjid dapat dibangun, hukumnya wajib (contoh fathhu dzariah ).

Macam-macam Dzariah
  • Dzariah yang akibatnya menimbulkan kerusakan atau bahaya secara pasti
  • Dzariah yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya.
  • Dzariah yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini dan tidak pula dianggap jarang. Dalam keadaan ini dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup jalan adalah wajib sebagai ikhtiar untuk berhati-hati terhadap terjadinya kerusakan
  • Dzariah yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu.


Qaul al-Shahabi
Yang dimaksud dengan Qaul al-Shahaby (Mazdhab Shahaby) adalah pendapat-pendapat para shahabat dalam masalah ijtihad Dengan kata lain Qaul shahabi adalah pendapat para shahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang didak dijelaskan dalam ayat atau hadits. Yang dimaksud dengan shahabat menurut ulama ushul fiqih adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah saw. beriman kepadanya, mengikuti serta hidup bersamanya, dalam waktu yang panjang, serta dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah saw.

Contoh : Keputusan Abu Bakar ra. perihal bagian bebrapa orang nenek yang mewarisi bersama-sama ialah 1/6 harta peninggalan yang kemudian dibagikan rata antara mereka itu. Tidak ada shahabat yang membantah keputusan Abu Bakar ra. tersebut, bahkan dalam masalah yang sama Umar ra.pun memutuskan demikian. Oleh karena itu, hukum yang ditetapkan oleh shahabat Abu Bakar ra. tersebut merupakan hukum yang wajib diikuti oleh kaum muslimin karena tidak mendapat perlawanan dari shahabat, bahkan tidak ada perselisihan di antara kaum muslimin dalam masalah itu.



Dilalatul-Iqtiran
Dilalatul-Iqtiran adalah penunjukan lafal terhadap kesejajaran hukum karena ditempatkan secara bergandengan. Para ulama usul fikih dan fikih tidak banyak yang memperhatikan secara serius dilalatul-iqtiran. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa tulisan mengenai kitab fiqih dan ushul fiqih. Para ulama tidak mengikutkannya dalam sub bahasan mereka. Meskipun kurang bahasannya dilingkungan ulama, namun para ulama pada dasarnya telah mempraktikkannya dengan tidak menyebut namanya.


Dilalah al-Ilham
Ilham adalah sesuatu yang di tuangkan ke dalam hati berupa ilmu yang mendorong untuk beramal tanpa petunjuk ayat dan tanpa memperhatikan hujah. Ilham adalah sesuatu yang dilontarkan ke dalam hati dengan jalan di tuangkan. Para ahli ushul fiqih berpendapat ilham yang datang dari Allah dapat menjadi hujah, sedangkan yang datang dari Syaitan dan jiwa tidak bisa dijadikan hujah. Kehujahan Ilham itu menurut mereka hanyalah kemungkinan atau dugaan semata. Dan hakekatnya tidak mungkin seseorang dapat membedakan di antara macam-macam Ilham tersebut kecuali setelah melalui penelitian, pengkajian dan mencari petunjuk dalil dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sedangkan jika beristidlal / mencari petunjuk dalil dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah, itu disebut Ijtihad bukan disebut Ilham.


Hukum
Menurut ahli fikh hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh syariat (Qur’an, Sunnah/Hadits, Ijtihad) yang dibagi dalam dua bentuk yaitu hukum Taklifiy dan hukum Wadh’iy, sedangkan perbuatan mukhallaf yang berkenaan dengannya (Taklifiy,Wadh’iy) dikelompokkan dalam lima macam bentuk.

Hukum Taklifiy 
Adalah tuntunan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Hukum taklifiy dibagi menjadi lima macam, yaitu :
  1. AI-ijab, yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan dilarang ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman
  2. An-nadh, yaitu tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Jika tuntutan itu dlkerjakan maka pelakunya mendapatkan pahala, tetapi jika tidak dikerjakan tidak ada hukuman (dosa)
  3. AI- Ibahah, yaitu flrman Allah yang mengandung piilhan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya
  4. AI-karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui untaian kata yang tidak pasti sehingga kalau dikerjakan pelakunya tidak dikenai hukuman
  5. AI•tahrim, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti sehingga tuntutan untuk meninggalkan perbuatan itu wajib, dan jika dlkerjakan pelakunya mendapatkan hukuman (berdosa).

Hukum Wadh’iy 
Adalah perintah Allah SWT, yang mengandung pengertian, bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukurn). Ularna usul fikih berpendapat bahwa hukurn Wadh’iy itu terdiri dari tiga macam, yaitu:
  1. Sebab, yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan dalam nas (Al qur’an dan hadist), bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum. Seperti: tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat dzuhur, jika matahari belum tergelincir maka sholat dzuhur belum wajib dilakukan
  2. Syarat, yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara; tetapi keberadaan hukum syara' tergantung padanya, jika syarat tidak ada rnaka hukum pun tidak ada. Seperti: genap satu tahun (haul) adalah syarat wajibnya harta perniagaan, jika tidak haul maka tidak wajib zakat perniagaannya
  3. Penghalang (mani), yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukurn atau sebab hukum. Seperti: najis yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang melaksanakan shalat menyebabkan shalatnya tidak sah atau menghalangi sahnya shalat.

Menurut ulama fikh pebuatan mukhallaf itu jika ditinjau dari syariat Islam, dibagi menjadi lima macam, yaitu ;
  1. Fardhu (wajib), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya rnendapatkan pahala, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya mendapatkan hukuman (berdosa). Yang terdiri dari ; Fardhu ain, yaitu perbuatan wajib yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf, seperti sholat lima waktu dan Fardu kifayah, yaitu perbualan wajib yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, dan jika telah dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, maka gugur kewajiban anggota masyarakat lainnya. Seperti memandikan, mengkhafani, mensholatkan dan menguburkan jenazah muslim ;
  2. Sunnah (mandub), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya tidak mendapatkan hukuman (dosa); sunnah dibagi dua ; Sunnah Ain yaitu perbuatan sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu, seperti shalat sunnat rawatib dan Sunnah Kifayah yaitu perbuatan sunnah yang dianjurkan oleh salah seorang atau beberapa orang dari golongan masyarakat, seperti memberi salam, mendoakan muslimin dan muslimat.
  3. Haram, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya berdosa dan akan dihukum; tetapi apabila ditinggalkan pelakunya mendapatkan pahala, seperti berzina, mencuri, membunuh
  4. Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak berdosa tetapi apabila ditinggalkan pelakunya mendapat pahala, puasa terus menerus tetapi berbuka pada 2 hari raya dan hari tasyriq.
  5. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan (tidak berpahala/berdosa), seperti: memilih warna pakaian penutup aurat.

RS Januari 2014
source http://syafieh.blogspot.com/2013/04/pergeseran-paradigma-teologi-islam-dari.html http://www.abdulhelim.com/2012/06/alquran-dan-hadis-sebagai-sumbe... http://www.islam2u.net/index.php?option=com_content&view=article.. http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Istihsan.html http://www.ayestateng.tk/2013/02/istihsan-istishlah-dan-maslahat.html http://alquranmulia.wordpress.com/2013/05/03/hadits-hasan/ http://amarstain.blogspot.com/2013/10/ilmu-mantiq-bab-istidlal.html http://pwkpersis.wordpress.com/2008/03/22/hujjiyah-qaul-as-shahabi-... http://gotzlan-ade.blogspot.com/2012/04/isthsan-istislah.html http://rahmadsmartboy.blogspot.com/2011/02/ishtisan-maslahah-mursha... http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195510071990011-DEDENG_ROSIDIN/ISTIDLAL.pdf Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, DDII, Jakarta, 1972 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar Fikr al-Arabi, 1958 H.A.Djazuli, Ilmu Fiqh, Orba Sakti, Bandung 1993 Al-Khudari, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Baerut, 1981 Abdul Hamid Hakim, As-Sulam dan Al-Bayan, Sa'adiyah Putra, Jakarta Syafi'i Karim, Fiqih Ushul Fiqh, Departemen Agama RI. 1995 Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Al-Ma,arif, 1986 (dalam Istidlal PDF) http://www.al-alauddin.com/2011/10/istidlal.html http://hilmahasromaulida.wordpress.com/2013/08/25/makalah-dasar-da... http://adilhidayat01.blogspot.com/2012/10/makalah-tentang-istishaburfq... http://heniwahyu.blogspot.com/2012/05/qaul-shahabi-dan-syaru-man-qa... http://abdullah21.wordpress.com/2008/10/13/sumber-–-sumber-ajaran-... http://iwen9.wordpress.com/2009/12/12/metode-pengambilan-hukum-4... http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=376 http://tarjihbms.wordpress.com/manhaj/ http://www-darulfaizinsampang.blogspot.com/2013/04/dasar-dasar-hu... http://www.organisasi.org/1970/01/pengertian-hukum-islam-syara-waji... http://datakampussaya.blogspot.com/2013/05/qaul-shahabi.html http://www.organisasi.org/1970/01/pengertian-hukum-islam-syara-waji... http://syafieh.blogspot.com/2013/04/pergeseran-paradigma-teologi-isl... http://deyahya.blogspot.com/2011/12/pengertian-dzariah.html http://www.slideshare.net/zethos/sembilan-dasar-hukum-islam http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20120728005412AA.. http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/135-sumber-hukum-islam-yang-... http://scarmakalah.blogspot.com/2012/04/teori-istinbath-dan-istidlal.html http://id.wikipedia.org/wiki/Sumber-Sumber_hukum_Islam http://sitinuralfiah.wordpress.com/bahan-ajar-2/sumber-sumber-hukum-... http://massukron.blogspot.com/2013/05/istislah.html http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Marzuki,%20M.Ag./Dr.%20Marzuki,%20M.Ag_.%20%20Buku%20Hukum%20Islam%20BAB%202.%20Tinjauan%20Umum%20Hukum%20Islam.pdf Al Quran Tafsir Ibnu Katsir terjemah Indonesia 
31 januari 2014 12:29 WIB

1 komentar: